JAKARTA – Banjir besar yang merendam wilayah Sumatra meninggalkan jejak pada lumpur yang menutup jalan, rumah yang hancur, dan warga yang mengungsi, sekaligus menghadirkan kebenaran pahit mengenai rapuhnya tata kelola ruang hidup di negeri ini.
Arus deras yang membawa gelondongan kayu, material sedimentasi, serta puing hutan penyangga memperlihatkan bahwa ekosistem hulu telah kehilangan fungsinya sebagai pelindung alami.
Banjir telah menjelma penanda bahwa negara terlalu lama menunda koreksi atas kebijakan izin yang menggerus daya tahan bumi sendiri.
Ketua Umum Pengurus Besar Liga Mahasiswa Islam Indonesia (PB LMII), Ali Aludin Hamzah, menegaskan bahwa gelondongan kayu yang hanyut bersama banjir merupakan bukti telanjang bahwa struktur ekologis sudah patah. Pohon-pohon yang seharusnya menahan tanah, menyerap air, dan memecah debit air justru ditemukan berjejer sebagai saksi dari kebijakan yang gagal memihak keseimbangan ekologis.
Dalam pandangannya, bencana kali ini adalah akumulasi dari legalisasi eksploitasi yang bertahun-tahun diperlakukan sebagai norma pembangunan.
Ali menilai negara tak dapat lagi bersembunyi di balik frasa cuaca ekstrem atau anomali iklim. Ketika izin terus diberikan, konsesi melebar tanpa kendali, dan kawasan penyangga menyusut, maka air akan turun tanpa ada kekuatan ekologis yang menjinakkan lajunya.
Banjir yang menelan korban jiwa, merusak pemukiman, dan memutus logistik kemanusiaan adalah konsekuensi langsung dari keputusan-keputusan yang selama ini disahkan atas nama investasi, tetapi dibayar mahal oleh rakyat di wilayah terdampak.
Ali mempertegas bahwa banjir Sumatra tidak sekadar menyingkap kegagalan teknis tata ruang, melainkan mengangkat lapisan realitas yang selama ini ditahan dalam ruang publik dalam hal ini ekspansi izin yang dibingkai sebagai investasi strategis ternyata melahirkan pola ketergantungan negara pada modal dan meminggirkan fungsi rakyat sebagai pemilik ruang hidup.
Ia menuturkan bahwa skema perizinan yang dilindungi jargon pembangunan justru menciptakan ketidakadilan ekologis yang diwariskan dari tahun ke tahun tanpa koreksi serius.
“Yah kita tahu sendiri, penyebabnya lahir dari desain kebijakan yang menolak koreksi atas tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan selama ini. Dan ironisnya ruang intervensi pemilik modal terlalu terlihat, mengindikasikan adanya pembungkaman masif terhadap masyarakat adat, aktivis, dan mahasiswa yang memperjuangkan keberlangsungan ruang hidup. Hal itu diperburuk oleh diamnya negara atas investasi yang memporak-porandakan masyarakat di daerah,” Katanya
Pernyataan tersebut memperjelas bahwa bencana ekologis tidak berdiri sendiri, melainkan bertalian dengan struktur ekonomi-politik yang membiarkan hutan dikonversi, ruang hidup ditekan, dan suara yang mencoba mengingatkan justru disisihkan.
Bagi PB LMII, banjir hanyalah bentuk fisik dari ketimpangan kebijakan yang selama ini diberi tempat dalam legitimasi negara. Pemulihan Sumatra karenanya tidak bisa hanya dipahami sebagai pemulihan korban, tetapi pemulihan akal sehat publik terhadap model pembangunan yang menggerus hulu dan mengorbankan warga di hilir.
Ketua Bidang Kesehatan, Lingkungan Hidup, dan Kehutanan PB LMII, Rahmat Sirvev, menegaskan bahwa bencana Sumatra harus menjadi jeda sejarah. Ia mengingatkan bahwa perizinan berbasis produksi tanpa keseimbangan daya dukung telah menciptakan siklus risiko: erosi, sedimentasi, tekanan hidrologis, hingga banjir bandang yang datang seperti amukan tanpa aba-aba. Rahmat menegaskan bahwa audit menyeluruh terhadap seluruh konsesi hulu adalah urgensi negara yang tak dapat ditunda. Tanpa koreksi, banjir berikutnya menjelma keniscayaan.
Ia menilai penanganan banjir tidak boleh berhenti pada dapur umum, perahu karet, tenda evakuasi, dan hitung-hitungan kerugian material. Tugas negara ialah memastikan ruang hidup tidak terus dilukai.
Banjir Sumatra, menurutnya, adalah pesan keras bahwa penundaan koreksi izin sama saja dengan memperpanjang penderitaan warga. Rahmat menegaskan perlunya moratorium izin baru di kawasan hulu, pencabutan izin bagi perusahaan yang merusak, serta penindakan hukum tanpa kompromi terhadap pengelola yang membiarkan pembalakan legal maupun terselubung.
Data terbaru dari otoritas lingkungan memperkuat pernyataan PB LMII. Pemerintah melalui KLHK membuka penyelidikan atas perusahaan yang diduga terkait kayu-kayu yang ditemukan hanyut dalam banjir, termasuk potensi pencabutan izin dan penindakan hukum. Namun bagi PB LMII, tindak lanjut tidak dapat berhenti pada wacana. Keadilan ekologis mesti hadir melalui langkah konkret dan terukur, sebab kerusakan telah melewati tahap peringatan.
Dalam narasi ini, negara dituntut tidak sekadar menanggulangi dampaknya, tetapi bertanggung jawab atas sebabnya.
“Ketika hutan terus dikecilkan perannya, air akan mencari jalur sendiri dan masyarakat menanggung akibatnya,” ujar Rahmat.
Banjir yang mengubur desa, merenggut kehidupan, dan memutus akses hidup adalah peringatan keras bahwa ruang hidup tidak dapat direduksi menjadi angka investasi dan nota konsesi. Alam memiliki tata hukumnya sendiri dan Indonesia sedang memikul akibat dari pengabaian panjang terhadapnya.
PB LMII menyatakan kesiapan mengawal langkah korektif negara, namun mengingatkan bahwa koreksi adalah pemulihan martabat ekologis. Banjir Sumatra adalah bab terbuka yang menuntut pertanggungjawaban: menghentikan ekspansi rakus, mengembalikan hutan pada fungsi asalnya sebagai pelindung, serta menegakkan disiplin ekologis yang selama ini dikesampingkan demi pertumbuhan semu.
Negara kini berada pada batas antara keberanian koreksi dan ulangan tragedi. Tugas negara ialah menghadirkan keseimbangan ruang hidup, menegakkan keadilan ekologis, dan memastikan pembangunan berdiri di atas kesadaran bumi, bukan di atas kubangan yang lahir dari kesalahannya sendiri.


