JAKARTA — Jaringan Advokasi Tanah Adat (JAGAD) mendesak pemerintah pusat, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui GAKKUM LHK, untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap PT Nusa Padma Corporation, perusahaan logging yang beroperasi di Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku.
Desakan ini disampaikan menyusul aksi penghentian paksa aktivitas pembalakan PT Nusa Padma oleh masyarakat adat Buru Selatan pada 11 Desember 2025, sebagai bentuk perlawanan atas dugaan perusakan lingkungan yang terus berlangsung.
Menurut JAGAD, aksi masyarakat adat tersebut merupakan respons atas dugaan kuat terjadinya perusakan hutan, kerusakan mangrove, dan degradasi kawasan pesisir yang secara langsung mengancam ruang hidup, sumber penghidupan, dan keberlanjutan masyarakat adat di Buru Selatan.
Ketua JAGAD, Feronika Nurlatu Latbual (FNL), menegaskan bahwa aktivitas PT Nusa Padma Corporation telah menimbulkan keresahan serius, tidak hanya di kalangan masyarakat adat, tetapi juga di tingkat pemerintah daerah.
“Meskipun indikasi pelanggaran hukum dan lingkungan sangat kuat, PT Nusa Padma tetap melanjutkan aktivitasnya. Kondisi ini memicu konflik terbuka dengan masyarakat adat,” ujar Feronika.
Dugaan Pelanggaran Berlapis
JAGAD menilai PT Nusa Padma Corporation terindikasi kuat melanggar sejumlah ketentuan hukum, mulai dari izin lingkungan hingga hak masyarakat adat.
Pertama, pelanggaran izin lingkungan (AMDAL/UKL-UPL). Aktivitas pembangunan logpond dan operasional penebangan diduga dilakukan tanpa izin lingkungan yang sah. Hal ini menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban dasar perlindungan lingkungan hidup.
“Tanpa AMDAL atau UKL-UPL, perusahaan beroperasi tanpa mengukur risiko kerusakan ekologis. Secara hukum, praktik ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan,” tegas Feronika.
Kedua, dugaan pelanggaran kehutanan (logging ilegal). Indikasi penebangan, pengangkutan, dan penumpukan kayu tanpa kejelasan legalitas izin menimbulkan dugaan kuat praktik logging ilegal.
Menurut JAGAD, tindakan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan berpotensi merupakan kejahatan kehutanan terorganisir yang merampas hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat dan mempercepat deforestasi di Pulau Buru.
Ketiga, perusakan wilayah pesisir dan mangrove. Pembangunan logpond di kawasan pesisir dan mangrove Air Jin berpotensi merusak ekosistem penting yang berfungsi sebagai benteng alami dari abrasi dan bencana laut. Kerusakan mangrove berdampak langsung pada menurunnya hasil tangkapan nelayan serta meningkatnya kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana ekologis.
Selain itu, JAGAD menilai aktivitas PT Nusa Padma diduga bertentangan dengan rencana tata ruang daerah (RDTR/RTRW) yang menetapkan kawasan pesisir Air Jin sebagai zona lindung atau wisata.
“Ini menunjukkan pembangkangan terhadap kebijakan tata ruang daerah dan mengancam keberlanjutan fungsi kawasan yang seharusnya dilindungi untuk kepentingan publik,” ujar Feronika.
Keempat, dugaan pelanggaran hak masyarakat adat. Feronika menegaskan bahwa operasional perusahaan yang berlangsung tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat adat merupakan bentuk perampasan ruang hidup.
“Tindakan ini mengabaikan hak konstitusional masyarakat adat atas tanah, hutan, dan sumber daya alam yang menjadi basis kehidupan, budaya, dan identitas mereka,” katanya.
Sorotan Lemahnya Penegakan Hukum
Berlarutnya dugaan pelanggaran ini, menurut JAGAD, mencerminkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan.
“Pembiaran semacam ini menciptakan preseden berbahaya: korporasi merasa kebal hukum, sementara masyarakat adat menanggung dampak ekologis dan sosial yang berkepanjangan,” ujar Feronika.
Ia menegaskan bahwa eksploitasi sumber daya alam di wilayah hutan adat dan pesisir berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis permanen jika tidak segera dihentikan.
“Negara tidak boleh menunggu sampai kerusakan tidak bisa dipulihkan. Jika praktik ini terus dibiarkan, dampaknya bukan hanya hari ini, tetapi akan diwariskan lintas generasi,” tegasnya.
Enam Tuntutan JAGAD
Atas dasar itu, JAGAD menyatakan akan mendatangi Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan GAKKUM LHK RI untuk menyampaikan enam tuntutan utama, yaitu:
1. Menghentikan segera seluruh aktivitas PT Nusa Padma, termasuk operasional logpond, penebangan, dan kegiatan lain yang berpotensi merusak hutan, mangrove, dan pesisir.
2. Melakukan audit menyeluruh dan terbuka terhadap seluruh izin dan dokumen PT Nusa Padma oleh KLHK, Kementerian Kehutanan, DPR RI, dan Mabes Polri, mencakup AMDAL/UKL-UPL, izin konsesi, rencana kerja, serta kewajiban fiskal.
3. Mewajibkan pemulihan ekosistem mangrove dan pesisir yang rusak dengan tanggung jawab penuh perusahaan, serta pengawasan masyarakat adat dan lembaga independen.
4. Menegakkan hukum secara tegas dan tanpa kompromi atas dugaan pelanggaran pidana lingkungan, kehutanan, dan tata ruang, baik melalui sanksi administratif maupun pidana.
5. Menjamin transparansi penuh seluruh aktivitas dan dokumen perusahaan kepada publik.
6. Melibatkan masyarakat adat secara penuh dalam setiap proses pengambilan keputusan, pengawasan, dan pemulihan lingkungan.
Feronika mengingatkan, jika negara terus bersikap diam, maka wilayah adat, sumber air, perkebunan rakyat, dan perikanan masyarakat Buru Selatan berisiko mengalami kerusakan sistemik, sebagaimana terjadi di berbagai wilayah lain akibat pembiaran industri ekstraktif.
“PT Nusa Padma tidak boleh dibiarkan merusak hutan dan pesisir Buru Selatan. Negara wajib hadir, menegakkan hukum, dan memastikan perusahaan bertanggung jawab secara hukum dan sosial,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, JAGAD mendesak GAKKUM KLHK, DPR RI, dan Kepolisian untuk segera memproses dan mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas dugaan kejahatan lingkungan tersebut demi melindungi ruang hidup masyarakat adat di Buru Selatan.
Secara hukum, aktivitas PT Nusa Padma Corporation mennurut JAGAD diduga melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (khususnya Pasal 36, Pasal 69, dan Pasal 98–109 terkait kewajiban izin lingkungan dan pidana lingkungan), UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (terkait penebangan dan pengangkutan kayu tanpa izin yang sah), UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (terkait perlindungan mangrove dan kawasan pesisir), serta ketentuan RTRW/RDTR daerah. Selain itu, pengabaian persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC) berpotensi melanggar prinsip perlindungan hak masyarakat adat sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi terkait hutan adat.


