JAKARTA – Majelis Adat Indonesia (MAI) melalui Dewan Agung Spiritualnya, Abuya Tubagus Mulyadi Mawahib Alqodim Albantany (Akrab Disebut Abah Alam), kembali mengangkat suara mengingatkan bahwa para perusahaan korporasi yang menyebabkan kerusakan hutan dan memicu bencana banjir skala nasional di tiga provinsi besar Pulau Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) agar membayar kompensasi ganti biaya sebesar Rp 100 triliun.
Bencana tersebut menjadi yang pertama dan terbesar dalam sejarah, menimbulkan korban jiwa serta kerusakan yang sangat fatal hingga dinyatakan berbagai pihak sebagai bencana nasional.
Hal ini diperkuat setelah sebelumnya Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) telah mewajibkan 71 perusahaan sawit dan tambang membayar denda sebesar Rp 38,6 triliun akibat kerusakan hutan, dengan rincian 49 korporasi sawit ditagih Rp 9,4 triliun dan 22 perusahaan tambang ilegal didenda sekitar Rp 29,2 triliun, sebagaimana diumumkan Juru Bicara Satgas PKH Barita Simanjuntak pada Selasa (9/12/2025). Namun, MAI menegaskan bahwa besaran denda tersebut belum cukup untuk menutupi kerugian yang dialami rakyat serta memastikan efek jera bagi pelaku eksploitasi alam ilegal.
Illegal logging dan aktivitas eksploitasi alam tidak sah lainnya yang mencakup penebangan pohon tanpa izin, melebihi batas izin, atau merusak ekosistem beserta rantai perdagangan yang tidak resmi telah menjadi akar penyebab kerusakan lingkungan yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat adat dan keseluruhan bangsa.
Abuya Tubagus Mulyadi Mawahib Alqodim Albantany menegaskan pentingnya mengingatkan bahwa hal ini menjadi tugas dan tanggungjawab seluruh anak bangsa serta masyarakat adat. “Negeri ini berdiri di atas tanah adat, di atas kearifan para leluhur.
Jika tanah itu dihancurkan, maka yang runtuh bukan hanya ekosistem, tetapi juga sendi-sendi kebangsaan. Negara wajib hadir sebagai pengayom, bukan sebagai penonton,” tegasnya.
Beliau menambahkan bahwa kerusakan wilayah adat adalah akibat dari tercerabutnya nilai-nilai keadaban dalam pengelolaan alam, di mana kekuasaan modal telah mengalahkan suara nurani dan hukum adat.
Dalam forum komunikasi MAI bersama para Raja, Sultan, Datuk, Ratu, dan Tokoh Adat se-Nusantara, DYMM Maharaja Kutai Mulawarman sebagai Dewan Pendiri MAI menyatakan bahwa MAI didirikan sebagai benteng terakhir marwah peradaban Nusantara. “Mengembalikan marwah dan kehormatan budaya diraja Nusantara berarti menegakkan keadilan bagi rakyatnya. Raja tanpa keadilan adalah kehampaan, dan kekuasaan tanpa keberpihakan kepada yang lemah adalah pengkhianatan terhadap amanah leluhur,” ujar beliau.
Beliau juga menegaskan bahwa seluruh elemen adat di Nusantara memiliki tanggung jawab suci untuk mengembalikan kehormatan budaya dan martabat masyarakat adat melalui tindakan nyata, serta MAI tidak akan gentar menghadapi tekanan politik maupun kekuatan modal karena yang diperjuangkan adalah masa depan generasi Nusantara.
MAI menegaskan bahwa tuntutan kompensasi Rp 100 triliun bertujuan tidak hanya untuk menutupi kerusakan yang terjadi, tetapi juga sebagai efek jera agar tidak terjadi lagi eksploitasi alam sembarangan yang dapat memicu bencana besar serupa di provinsi lain di Indonesia. Majelis Adat Indonesia sebagai wadah nasional para pemangku adat berkomitmen untuk menjaga nilai, martabat, kearifan lokal, serta hak-hak konstitusional masyarakat adat Indonesia.
Untuk diketahui bersama, Ihwal inipun menjadi pembahasan utama di forum komunikasi majelis adat Indonesia yang dihadiri para Raja, Sultan Datuk Ratu serta Tokoh Pemangku Adat se-Nusantara.


