DIDALAM sistem negara demokrasi TIDAK ADA teman abadi dan musuh abadi, tapi yang ada adalah _Kepentingan Abadi_. dan _Kepentingan Pribadi._
Didalam negara yang bernama _”Republik’ Indonesia”_ yang masih menguri-nguri sistem warisan budaya orentalis yaitu _”republik”_ dan bergaya _”demokrasi” yahudi_ maka yang ada terjadi di negeri ini adalah _”Politics is interest”_ (politik adalah kepentingan).
Didalam sistem republik demokrasi tidak akan mungkin ideologi negara itu bisa kokoh dan tegak seperti tegaknya ideologies di negara kerajaan atau _monarkhi._
Karena menurut saya Politik itu sendiri bersifat dinamis, tidak harus idealis saklek atau kaku tapi harus fleksibel. Ingat dalam dunia “politik demokrasi” tidak ada _teman abadi_ ataupun _musuh abadi_, yang ada adalah _”Kepentingan abadi”._
Tidak ada seorangpun yang pernah mengira bahwa yang tadinya _rival_ (musuh politik) nanti bisa saja jadi teman, sebaliknya sekarang jadi teman besok bisa menjadi musuh rivalnya.
Kita lihat _Fadli Zon_ dia dulu adalah relawan militan berat Jokowi Ahok, sekarang? Sekarang penentang terberat Jokowi cs.
Lihat PAN dan Golkar dulu adalah partai-partai _nasionalis religius_ yang kuat anti _kapitalis komunis_ sekarang? Sekarang pendukung koalisi terkuat _partai kapitalis komunis_ alias PDIP.
Lihat masa lalu Ngabalin dan TGB (Tuan Guru Bajang) dulu sangat terkenal pro Prabowo, sekarang?
Lihat _Surya Paloh_ dulu adalah pendukung dan koalisi terkuat rezim Jokowi, sekarang?
Begitulah jika kita mengikuti laju fragmen politik di negara demokrasi yang dinamis, pastinya akan disuguhkan dengan berbagai drama manuver-manuver oleh para lelucon aktor politik.
Tidak komitmennya atau perubahan sikap partai dan sikap personal elite partai politik itu dapat terjadi karena adanya TIGA faktor :
_Faktor pertama_, karena demi kepentingan mendapatkan kekuasaan.
_Faktor kedua,_ karena demi mendapatkan perlindungan hukum bagi personal pribadinya.
_Faktor ke tiga_, karena ketidaknyamanan. Ini berurusan dengan akal sehat dan hati nuraninya. Bila yang dibela dinilai sudah salah arah dan menyalahi visi misi dan prinsip ideologi, agama dan kemanusiaan atau bertentangan dengan prinsip luhur atau hati nuraninya, mama dia akan meninggalkan par tai tersebut.
Seperti misal yang terjadi pada partai PPP dan PAN sekarang pendukung Jokowi. Menyebabkan banyak para kader yang militan partai tersebut _resign_ keluar dari PPP dan PAN.
PPP telah menggadaikan azas visi misi partai sebagai partai religius yang membawa warna Islam berubah menjadi par tai penyokong dan pendukung kelompok _Sekuler, liberal dan komunis_, pendukung PDIP dan _underbow nya_.
Laju politik di negara yang menganut sistem _”republik demokrasi”_ tidak bisa lurus-lurus saja tidak harus idealis, tidak seperti yang ada pada sistem negara _monarkhi atau kerajaan_. Dalam sistem negara demokrasi harus mencampakkan prinsip, keyakinanan, hati nurani dan ideologi bangsa.
Berbeda dengan negara yang menganut sistem monarki / kerajaan rakyat tidak perlu ribut ribut saling cakar-cakaran ambil pusing pilih pemimpin karena :
1. Karena seorang raja sultan sebagai kepala negara itu dipilih dan ditunjuk berdasarkan garis genetika (keturunan yang unggul / smart) oleh _dewan raja dan dewan ulama_ melalui dewan syuro didalam _Lembaga Tertinggi Negara._
2. Karena _dewan ulama dan dewan raja_ adalah lembaga tertinggi negara sebagai _Ulil Amri_ lebih mengetahui tentang _personality, kredibilitas dan kapabilitas_ seorang pemimpin untuk rakyatnya.
3. Karena sistem negara Monarkhi tidak membawa misi kepentingan partai politik apapun atau kepentingan kelompok _high Finansial (kaum yang berduit)_, atau kepentingan _kelompok proletar_ yang didalamnya ditunggangi kaum _Kapitalis, liheralis, komunis_ .
Berbeda bagi negara penganut “republik demokrasi” negara dalam mencari pemimpin sangat ditentukan oleh _”para pemain”_ politikus yang ingin bermain.
Apabila para politikus sudah goncang ideologinya maka dia lebih senang sebagai aktor politik dia dapat bermanufer politik, daripada sebagai karakter militan dalam politik.
Sehingga baginya dalam politik tidak ada kawan sejati yang abadi atau musuh adadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Yang jauh mengalahkan prinsip, ideologi, partai maupun golongan.
Mari kita yang merasa rakyat biasa ini ingat, bahwa politik itu hanya permainan drama yang dinamis yang mengasyikkan juga menyakitkan.
Jangan terlalu SERIUS, jangan terlalu tegang, jangan terlalu _ghuluw_ (berlebih-lebihan / melampaui batas) mengidolakan seorang tokoh yang wajar-wajar aja lah, siapa dia _Anies Baswedan, Prabowo_ atau yang lainnya. Karena ingat ini adalah negara _Republik Demokrasi_ bukan negara yang ideal yang menjaga prinsip norma _identitas diri_ dan _jatidiri bangsa,_ tapi ini adalah negara _Demokrasi adoption of kafir yahudi_ yang menjaga prinsip KEBEBASAN.
Politik Republik Indonesia bukan politik negara Kerajaan yang hukumnya tegak dan tertata rapi _buildung sistemnya_ yang dimana dalam negara Kerajaan tidak akan ada _money politic, manipulasi politic dan oligarki_ tidak bisa tumbuh subur di dalam negara Kerajaan.
Tapi masalahnya Indonesia adalah _negara demokrasi_ maka negara ini bisa saja menjadi negara _sosialis, kapitalis_ atau bahkan bisa menjadi negara _komunis_ dan bisa sah-sah saja. Semua bisa berubah tergantung dari kepentingan para politikus dalam partai politik yang dikendalikan oleh kelompok _high finansial (kaum Kapitalis kaum yang BERDUIT)._
Dalam negara demokrasi tergantung siapa yang paling kuat UANGNYA maka itulah yang akan BERKUASA yang akan MEMIMPIN NEGARA menjadi sang PENGUASA di negara demokrasi !
Mereka Prabowo dan Jokowi yang dulu adalah rival dan saling serang sekarang diatas duduk bersama minum kopi sambil ketawa ketiwi aja ngeliat kita berdebat kusir, menghabiskan energi.
Akhirnya sekali lagi saya katakan didalam perspektif kacamata Demokrasi _Politik_ adalah KEPENTINGAN tidak ada kawan abadi atau musuh abadi yang ada adalah _Kepentingan Abadi dan Kepentingan Pribadi.._
_”Nothing is impossible in politics…!”_
_Surakarta, November 2021_