Pada zamannya, ia muda dan menyempal, eksentrik dan mencari solusi. Padanya, diskursus sosialisme disematkan. Maka, tak fasih dan tak “diakui” oleh sesama wargabangsa, siapapun yang bicara sosialisme di Indonesia tanpa menyebutkan nama, lembaga, partai, tindakan, karya dan pikirannya.
Pikiran dan mentalitas Sjahrir itu indah, tapi kini fana. Sikapnya itu membahagiakan (pribumi), tapi juga melukai (penjajah). Politiknya memberi kesadaran, juga melenakan (kini punah). Pidatonya terang, kadang berjelaga. Tindakan dan keputusannya sederas ombak di lautan, tapi mudah menghilang.
Kita menghadirkannya karena mentalitas dan pikirannya mulai punah. Tentu saja, lembaga Pusaka Indonesia dan Nusantara Centre tak ingin ikut merasa bersalah dan terkutuk. Kini, kami coba gali secerdasnya. Apa sih gagasan besar Sjahrir yang patut kita ungkap kembali?
Ada lima yang mau kita bahas secara ringkas. Pertama, soal revolusi kaum muda. Kedua, soal sosialisme Indonesia. Ketiga, soal parlementarian. Keempat, soal daulat diplomasi, dan kelima soal kepemimpinan dunia.
Bagi Sjahrir, tulang punggung revolusi nasional adalah kaum muda. Mereka adalah lapisan paling sensitif dalam masyarakat sehingga memainkan peran signifikan dalam perubahan sosial. Hal itu dibuktikan dengan sumpah pemuda yang kulminatif dari temu militansi kaum muda dari berbagai wilayah nusantara. Revolusi ini merupakan pembangunan cara pandang dan pola pikir sehingga menghasilkan perilaku yang berorientasi pada perubahan fundamental, cepat dan menang.
Merekalah penggerak terdepan dan aktor utama karena integritas, etos kerja, dan gotong royong yang melewati sekat-sekat primordial (SARA), anti feodalis, anti fasis. Mereka berjuang untuk kemerdekaan 100%, yakni menyita semua hak milik asing yang sebenarnya juga adalah hasil pencurian dari masa penjajahan. Menurut kaum muda, tidak akan ada kemerdekaan yang sesungguhnya selama penjajah masih mengendalikan perekonomian Indonesia.
Sjahrir lalu melanjutkan tesisnya, “bahwa revolusi kaum muda harus melahirkan tradisi sosialis: anti feodalis, anti fasis dan pro demokrasi.” Inilah potret sosialisme indonesia sebagai tesis keduanya.
Dus, bagi Sutan Sjahrir sosialisme hendaknya berdasarkan asas kemudaan dan kerakyatan sehingga mampu menjunjung tinggi derajat kemanusiaan. Mereka mengakui dan menjunjung tinggi persamaan derajat tiap manusia (kesederajatan). Inilah yang dijadikan dasar pandangan politik Partai Sosialis Indonesia yang ia bentuk.
Dengan dua pokok pikiran tersebut. Sjahrir berpikir bahwa sistem demokrasi yang pas bagi Indonesia adalah sistem parlementer. Sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik terletak pada parlemen atau badan legislatif yang terpilih oleh rakyat. Pada pikiran ini, Sjahrir adalah perdana mentri pertama di Indonesia. Dus, ialah pemikir utama bersama Hatta yang praktik langsung dalam posisi pemikir parlementarian sekaligus perealisasinya. Inilah gagasan ketiga yang merealitas di masa itu.
Gagasan keempatnya kemudian membuatnya tampil sebagai diplomat yang taktis. Ialah peletak dasar diplomasi Indonesia. Hal ini penting digarisbawahi sebab, dalam usia muda, ia secepat kilat melejit ke atmosfer perjuangan dan pergerakan nasional dalam membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan jadi orang pertama yang mempublikasikan Indonesia ke dunia internasional. Tetapi, saat ini, kita dan sejarah begitu kerdil memandangnya. Pikiran dan jasanya tak diteladani. Anggota parlemen kita defisit ide, presiden kita kini hanya tukang utang.
Padahal, Sjahrir bermimpi agar kita memimpin dunia. Sebuah mimpi yang ia wujudkan dengan “tampilnya ia secara gagah” di forum-forum internasional. Di forum itulah Sjahrir bicara sosialisme Indonesia, demokrasi Indonesia dan ekopol Indonesia. Sayang, alih-alih kita mereplikasi mental itu, kini KKN merajalela pada 3 cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif-yudikatif). Agama baru dan tradisi ini menyebar di seluruh penjuru negeri dan dihirup dengan suka cita oleh semua warganegara.
Padahal, Sjahrir bercita-cita menerapkan suatu paradigma yang mengusung ide pembentukan manusia ideal Indonesia: bebas, merdeka, mandiri, modern, kritis, rasional (yang menghargai akal), dewasa namun juga tetap bahu-membahu kepada sesama (kooperatif) dan bertanggung jawab maksimal.
Pembentukan manusia Indonesia yang ideal ini juga disertai dengan ide mengenai diperlukannya negara aktif untuk tetap menjaga kondisi-kondisi tersebut demi keberlangsungannya. Itulah negara sosialis, negara pancasila yang berjiwa muda tetapi bermental dewasa.(*)